Setyawan, Wahyu Adji (2021) Analisis Legal Standing Dalam Kasus Permohonan Judicial Review Mahkamah Konstitusi Terhadap Ranghkap Jabatan Wakil Menteri. [["eprint_typename_skripsi" not defined]]
Text
WAHYU ADJI SETYAWAN PALING FIXXXX.pdf Download (2MB) |
Abstract
Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan lembaga yudikatif yang bertugas mengawal konstitusi yang berlaku. Berlakunya UUD 1945 sangat diperlukan lembaga khusus untuk mengawal jalannya konstitusi agar tidak bertentangan dengan konstitusi. Pengujian UU terhadap UUD merupakan salah satu tugas dari Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Pemohon dalam pengujian undang-undang harus menjelaskan terlebih dahulu kedudukan hukum (legal standing) terhadap undang-undang yang diuji. Pada kasus pengujian Pasal 23 Undang-undang Nomor 38 tahun 2009 tentang Kementerian Negara terhadap UUD 1945 terdapat hal yang menarik dimana Mahkamah satu pendapat terhadap Pemohon dengan menegaskan dalam pertimbangan hukum Mahkamah terkait pelarangan rangkap jabatan wakil Menteri. Peneliti dalam penelitian ini berfokus pada penolakan legal standing Pemohon oleh Mahkamah. Akan tetapi Mahkamah satu pendapat dengan Pemohon terkait pelarangan rangkap jabatan Wakil Menteri. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan menelaah putusan MK yang berkaitan dengan rangkap jabatan wakil Menteri serta diambil kesimpulan tentang penolakan legal standing dari Pemohon. Sumber data yang digunakan peneliti dalam melakukan penelitian ini meliputi bahan hukum primer berisi Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK Nomor 76/PUU-XVIII/2020 dan bahan hukum sekunder berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, jurnal atau karya ilmiah hasil penelitian. Berdasarkan penelitian yang diperoleh, penulis menyimpulkan bahwa putusan MK No 80/PUU-XVII/2019 dan No 76/PUU-XVIII/2020 dalam hal ini pemohon yang memperkenalkan diri sebagai warga negara biasa, constitutional lawyer, aktivis, mahasiswa dan influencer kesulitan untuk menjelaskan kerugian konstitusional yang diderita baik secara langsung maupun tidak langsung maka berlakulah adagium hukum point d’etre point d’action yaitu jika tidak ada kedudukan hukum maka tidak ada perkara yang diuji. Setelah ditelaah ternyata legal standing yang cocok untuk mengajukan Permohonan hanyalah Wakil Menteri karena kerugian konstitusional yang diderita bisa dirasakan secara langsung. Hal ini mustahil akan dilakukan oleh seorang Wakil Menteri yang jelas mendapat keuntungan dengan diperbolehkannya rangkap jabatan Wakil Menteri. Mahkamah dalam hukum acaranya mempunyai beberapa asas-asas hukum acara MK salah satunya yaitu hakim aktif dalam persidangan dimana Mahkamah telah melihat ketidakpastian hukum pada Pasal 23 UU 39/2008 yang hanya mencantum Menteri dalam pelarangan rangkap jabatan tanpa memasukkan jabatan Wakil Menteri dan membuat ketidaksinambungan dengan Pasal 10 UU No 39/2008 yang menyatakan bahwa Wakil Menteri diangkat karena ada beban kerja secara khusus di Kementerian, maka Mahkamah dapat memperluas maka Pasal 23 UU 39/2008 juga berlaku bagi Wakil Menteri karena terdapat kepentingan khalayak umum dan amar putusan MK berlaku bagi seluruh warga negara bukan hanya terhadap pihak berperkara (Erga Omnes).
Item Type: | ["eprint_typename_skripsi" not defined] |
---|---|
Subjects: | Ilmu Ekonomi,Politik, Sosial, Budaya dan Pertahanan Negera |
Divisions: | Fakultas Syariah > Hukum Tata Negara |
Depositing User: | Unnamed user with email bimoharyosetyoko@iainsalatiga.ac.id |
Date Deposited: | 01 Dec 2021 17:51 |
Last Modified: | 01 Dec 2021 17:51 |
URI: | http://e-repository.perpus.uinsalatiga.ac.id/id/eprint/12339 |
Actions (login required)
View Item |