Pencatatan Perkawinan: Syarat Administratif atau Syarat Kumulatif Perspektif di Kota Salatiga

Zumrotun,M.Ag., Dra. Siti (2023) Pencatatan Perkawinan: Syarat Administratif atau Syarat Kumulatif Perspektif di Kota Salatiga. UNSPECIFIED.

[img] Text
Heni satar.pdf

Download (738kB)

Abstract

Penelitian dengan judul: Pencatatan Perkawinan: Syarat Administratif atau Syarat Kumulatif (Studi atas Peran dan Perspektif Kyai di Kota Salatiga). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, dokumentasi dan observasi. Fokus penelitian adalah faktor yang melatarbelakangi masyarakat kota Salatiga dalam melakukan perniahan tidak tercatat, serta persepsi kyai tentang hukum pencatatan perkawinan di Indonesia. Sedangkan analisis data dilakukan secara induktif, yaitu analisis berdasarkan data yang diperoleh di lapangan. Setelah diadakan penelitian secara mendalam bisa disimpulkan bahwa ada faktor pendukung tetap terjadinya nikah tidak tercatat yang bisa dibedakan menjadi dua: faktor interen dan faktor eksteren. Perspektif kyai juga tokoh masyarakat terkait dengan hukum pencatatan nikah di Indonesia tidak ada kyai tokoh masyarakat atau bahkan akademisi yang secara tegas menyatakan bahwa pencatatan nikah itu termasuk syarat administrasi ataupun syarat kumulatif. Mereka hanya berpendapat bahwa pencatatan nikah merupakan hukum perkawinan di Indonesia yang harus ditaati bagi setiap rakyat. Hanya saja mereka tetap menyatakan sah sebuah pernikahan yang dilakukan di hadapan kyai, baik selanjutnya dicatatkan atau tidak dicatatkan. Para kyai hanya berpendapat bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan merupakan perbuatan yang tidak taat kepada negara. Sementara taat kepada ulil amri hukumnya wajib. Dari berbagai hal tersebut, penelitian ini dapat diambil kesimpulan yang harus menjadi perhatian dari semua pihak. Pertama, pernikahan yang dilakukan hanya di hadapan kyai dan tidak tercatat ke KUA terjadi karena ada celah di balik kebijakan utama dari praktik pernikahan di negeri ini, dan hal ini bisa dilihat dari rujukan utama pernikahan, yaitu UU No. 1 Tahun 1974, khususnya terkait dengan keabsahan dari sebuah pernikahan pada Pasal 2. Pada pasal ini, dinyatakan bahwa “(a) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (b) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pada dasarnya dua butir pada Pasal 2 ini memiliki ambiguitas. Di satu sisi, sebuah pernikahan itu dinyatakan sah ketika agama memandangnya telah sah pada saat memenuhi syarat dan rukunnya tanpa harus melalui pencatatan pernikahan yang legal. Sedangkan di sisi yang lain, setiap perkawinan itu harus dicatat sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ambiguitas ini membawa implikasi yang besar terkait dengan apakah pencatatan itu hanyalah berfungsi sebagai syarat administratif belaka ataukah memiliki syarat kumulatif, yaitu memiliki syarat administratif dan juga syarat keabsahan pernikahan itu sendiri. Dengan syarat kumulatif, sebuah pernikahan yang tidak dicatatkan, meskipun sudah memenuhi syarat dan rukun dari pernikahan sesuai dengan agama masing-masing, maka pernikahan itu dianggap tidak sah. Dengan aturan yang bersifat kumulatif, hal ini sedikit banyak akan menekan praktik nikah tidak tercatat yang berdasarkan penelitian ini membawa mudarat yang lebih besar dibandingkan maslahatnya. Hal ini akan berbeda halnya jika keabsahan pernikahan itu bersifat administratif belaka, sehingga praktik nikah tidak tercatat ini akan terus lestari karena keabsahan pernikahan itu sudah bisa didapatkan dari praktik nikah sirri tersebut sehingga mereka yang mempraktikkannya bisa menjalani hubungan suami istri dengan tenang dan nyaman

Item Type: Book
Subjects: Agama > Fiqih (Hukum Islam)
Depositing User: Unnamed user with email bimoharyosetyoko@iainsalatiga.ac.id
Date Deposited: 11 Apr 2023 20:29
Last Modified: 11 Apr 2023 20:29
URI: http://e-repository.perpus.uinsalatiga.ac.id/id/eprint/16529

Actions (login required)

View Item View Item