MEMBELA YANG LEMAH Tafsir Tematik atas Ayat-ayat Jaring Pengaman Sosial dalam al-Qur’an

Ag., Tri Wahyu Hidayati, M. (2023) MEMBELA YANG LEMAH Tafsir Tematik atas Ayat-ayat Jaring Pengaman Sosial dalam al-Qur’an. UNSPECIFIED.

[img] Text
08 TRI WAHYU.pdf

Download (2MB)

Abstract

Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia (QS al-Baqarah [2]: 185). Al-Qur’an menjelaskan segala sesuatu untuk membimbing kehidupan manusia. Penjelasan dan petunjuk menuju kebaikan agar dijalankan, sedangkan jalan kerusakan harus dihindari. Orang-orang yang mengikuti petunjuk dan penjelasan al-Qur’an akan selamat dan bahagia dunia dan akhirat. Itulah tujuan utama dari turunnya al-Qur’an. Dengan demikian jelaslah bahwa al-Qur’an diharapkan membimbing kehidupan manusia, mewujudkan keadilan, kesejahteraan hidup manusia. Al-Qur’an diakui bersifat ṣālih likulli zamān wa makān, cocok di segala zaman dan tempat. Dengan demikian, al-Qur’an cukup dinamis dalam merespons realitas kehidupan manusia yang terus berkembang. Maka sebuah keniscayaan bagi umat Islam untuk melahirkan penafsiran al-Qur’an yang lebih kontekstual dengan kondisi kekinian. Implikasi dari keyakinan ini adalah berkembangnya berbagai metodologi penafsiran al-Qur’an sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia. Kajian kritis terhadap al-Qur’an dengan berbagai coraknya mengalami dīnamika seiring dengan dinamika perkembangan zaman. Al-Qur’an diibaratkan lautan yang luas dan tiada bertepi, yang mengundang setiap pembacanya untuk dapat mengarungi kedalaman dan keluasan makna dan nilai yang terkandung di dalamnya. Manusia dalam hidupnya harus terpenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu sandang, pangan, papan, layanan kesehatan, dan pendidikan. Ini adalah kebutuhan asasi manusia dan menjadi tanggung jawab sosial masyarakat dan negara untuk mewujudkannya. Sejatinya tidak ada manusia yang menghendaki hidup dalam kemiskinan dan ketidakberdayaan. Realitasnya tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang kaya dan ada yang miskin, ada yang pintar ada yang tidak pintar. Untuk itu dibutuhkan aturan agar tidak ada kezaliman yang dilakukan satu pihak terhadap pihak lainnya. Kezaliman, penindasan, dan sejenisnya akan menjadikan ketimpangan dan kerawanan sosial. Untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan asasi manusia bagi orang-orang yang lemah/tidak mampu (termasuk orang miskin) dibutuhkan sebuah sistem jaring pengaman sosial (the social safety net). Secara umum, orang-orang yang lemah, baik secara sosial maupun ekonomi, sering diasosiasikan dengan istilah kaum duafa. KBBI menyebut bahwa duafa adalah orang-orang yang lemah baik dari sisi ekonomi maupun kehidupan lainnya. Duafa berasal dari bahasa Arab ḍu’afa (bentuk jama’ dari Mustaḍ’afūn adalah orang yang lemah atau dilemahkan, yang lemah karena keadaan asalnya atau dilemahkan karena perbuatan orang lain atau sistem kehidupan masyarakatnya. Dengan demikian Mustaḍ’afūn meliputi orang lemah atau tidak berdaya secara ekonomi, lemah karena tidak memiliki kemerdekaan, lemah secara fisik atau biologis. Orang miskin termasuk lemah secara ekonomi. Seorang budak lemah karena tidak memiliki kemerdekaan. Anak-anak, orang yang memiliki kekuarangan fisik (disabilitas) juga dapat dikategorikan lemah. Dalam al-Qur’an terdapat istilah ḍu’afā’ dan mustaḍ’afūn untuk menggambarkan kondisi orang yang lemah. Nampaknya dua istilah sudah sangat familiar di masyarakat, hal ini terlihat seringnya terdengar ungkapan di masyarakat “ini kaum ḍu’afā’ yang harus dibantu”. Secara umum orang menganggap orang-orang yang lemah secara ekonomi termasuk dalam ketegori ini, sehingga ḍu’afā’ dan mustaḍ’afūn sering dipersepsikan sebagai orang miskin. Persepsi ini tentu tidak sepenuhnya salah, karena kondisi lemah seseorang baik karena pengetahuannya, kemauannya maupun kemampuan fisiknya mengarah pada ketidakberdayaan secara ekonomi, yaitu miskin. Kata “miskin” sering dipakai bersamaan dengan kata “fakir”. Dalam KBBI , kata fakir berarti orang yang sangat berkekurangan, atau sangat miskin. Pandemi Covid-19 telah melemahkan berbagai sendi kehidupan. Warga di berbagai negara mengalami keterpurukan dan ketidakberdayaan, terutama di bidang ekonomi kemudian merembet ke persoalan kehidupan sosial lainnya. Warga banyak menjadi orang yang lemah baik sosial maupun ekonomi. Dampak buruk ini amat dirasakan terutama bagi warga yang bekerja pada sektor informal, dan yang mengandalkan pendapatannya dari kerja harian, seperti kuli, pedagang kecil, tukang ojek. Pada saat seperti inilah Pemerintah dituntut sigap untuk menjamin kehidupan warganya yang terkena dampak sehingga menjadi miskin atau rentan miskin. Mereka ini juga menjadi golongan yang lemah karena keadaan tertentu yaitu musibah atau bencana. Kalangan mustaḍ’afūn adalah orang-orang yang harus mendapat perhatian dan jaminan perlindungan agar mereka dapat hidup selayaknya manusia. Al-Qur’an mengisyaratkan agar diwujudkan jaminan perlindungan, misalnya al-Isrā’ [17]: 26, al-Nisā’ [4]: 36, al-Muddaṡir [74]: 42-44. Islam, melalui al-Qur’an dan hadis sangat peduli terhadap kesejahteraan hidup umatnya. Al-Qur’an sangat peduli pada kondisi fakir miskin dan orang-orang lemah lainnya. Banyak ayat al-Qur’an dan hadis yang mengajarkan umatnya untuk bersikap dermawan, mau berbagi dengan kekayaannya terhadap sesama. Karena dalam pandangan Islam, harta adalah mutlak milik Allah, manusia hanyalah mendapatkan titipan. Oleh karena itu, dalam harta seseorang ada hak orang lain (QS az-Żāriyāt [51]: 19) yang harus ditunaikan pemiliknya. Di antara ajakan berbagi terhadap sesama diwujudkan dengan anjuran infak, sedekah, dan kewajiban zakat. Islam yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia dapat menjadi rujukan dalam mengatasi persoalan sosial kemasyarakatan, seperti persoalan kemiskinan dan orang-orang yang lemah lainnya. Al-Qur’an adalah kitab yang sempurna, tidak ada kekurangan padanya. Al-Qur’an adalah kitab yang lengkap menyangkut berbagai bidang kehidupan manusia, tidak ada yang luput dari pembicaraan al-Qur’an (QS al-An’ām [6]: 38). Bagaimana al-Qur’an (sebagai pedoman hidup umat Islam) mengajarkan untuk mewujudkan jaring pengaman sosial untuk mengatasi masalah kemiskinan, sehingga tidak menimbulkan dampak kerawanan sosial di masyarakat. Oleh karena itu sudah sepantasnya Muslim bangsa Indonesia kembali pada ajaran agamanya dalam rangka menanggulangi berbagai problem yang dihadapi. Disyariatkannya zakat dan ajaran kedermawanan lainnya merupakan wujud nyata bahwa Islam adalah agama yang paling peduli terhadap nasib kaum miskin dan nasib kaum tidak berdaya lainnya, bila dibandingkan dengan seluruh agama lain di dunia, baik samāwī maupun arḍi. Walaupun adanya kemiskinan dalam sebuah tatanan masyarakat sudah merupakan sunnatullah, ada yang kaya ada yang miskin, ada yang kuat ada yang lemah, namun diharuskan untuk memperkecil jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Hal ini sejalan dengan prinsip harta dalam Islam, agar kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang kaya (QS al-Ḥasyr [59]: 7). Jangan sampai yang kaya semakin kaya dan yang miskin makin miskin, yang kuat makin kuat, yang lemah makin lemah tidak berdaya. Zakat disitribusikan untuk orang-orang yang lemah, yang membutuhkan bantuan. Itulah mengapa surat al-Taubah merinci tentang siapa saja yang berhak mendapatkan zakat. Zakat hanya disitribusikan pada golongan yang disebut dalam ayat tersebut saja, dan ditegaskan dengan firmannya farīḍatan min Allah. Demikianlah ketentuan tentang distribusi zakat, Allah Maha mengetahui keadaan hamba-Nya, Allah tidak menetapkan sesuatu kecuali di dalamnya ada kebaikan dan dan kemaslahatan hamba-Nya. Zakat, infak, sedekah, wakaf (QS al-Taubah [9]: 60 dan 103, al-Baqarah [2]; 261-267, al-Hajj [22]: 77), adalah ajaran kedermawanan (filantropi) dalam Islam. Disamping untuk menyantuni orang-orang yang lemah, zakat berguna untuk melindungi harta dari tangan jahat. Di sinilah fungsi sosial zakat dan ajaran berderma lainnya, dapat mewujudkan kohesi sosial,merekatkan hubungan satu sama lain. Kalau hal itu bisa diwujudkan, maka dengan sendirinya tingkat kriminalitas semakin sedikit, kehidupan akan lebih aman dan kondusif, persatuan dan kesatuan terjaga. Maka, tinginya tingkat kriminalitas di negeri ini dan negara lainnya bisa jadi disebabkan oleh angka kemiskinan yang masih tinggi, yang merupakan efek domino dari lemahnya pengelolaan zakat dan ajaran filantropi lainnya. Ada banyak ketentuan hukum dalam al-Qur’an yang berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan orang-orang miskin dan lemah lainnya, misalnya larangan riba, pelaksanaan kafarat, dam, fidyah, kurban, dan lain-lain. Rangkaian ketentuan-ketentuan hukum tersebut menunjukkan cara bagaimana al-Qur’an berusaha mewujudkan sebuah sistem jaring pengaman sosial. Sistem jaring pengaman sosial inilah yang akan penulis teliti lebih jauh. Yaitu sebuah sistem yang diisyaratkan al-Qur’an yang menjamin agar masyarakat hidup sejahtera, keadilan ditegakkan, tidak ada penindasan dari yang kuat terhadap yang lemah, saling menolong antara yang kuat dan lemah. Jaminan perlindungan inilah yang dimaksud oleh penulis dengan jaring pengaman sosial. Istilah Jaring Pengaman Sosial (JPS) telah dikenal sebagai program pemerintah yaitu program bantuan tanpa syarat yang berperan secara produktif dalam membantu keluarga dalam mengatasi kemiskinan dan ketidakberdayaan. Istilah ini awalnya merupakan program internasional untuk dapat keluar dari krisis ekonomi tahun 1998. JPS mencakup 5 (lima) bidang, yaitu pangan, tenaga kerja, pendidikan, kesehatan, dan modal usaha. Program ini diarahkan untuk membantu orang-orang miskin dan orang-orang yang rentan akibat krisis, bencana atau kejadian luar biasa lainnya. Ada banyak jenis wujud penerapan jaring pengaman sosial yang telah dijalankan pemerintah Indonesia, di antaranya Program Keluarga Harapan (PKH), program BLT (Bantuan Langsung Tunai), Bantuan Sosial berupa sembako, subsidi listrik. Namun program-program tersebut masih dirasa belum menyentuh akar masalah. Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan kawasan (P3PK) UGM mencatat beberapa problem pelaksanaan JPS, di antaranya: JPS masih sebatas proyek, sehingga nampak hanya sebagai program instsan untuk mengatasi dampak krisis, bukan program berkelanjutan dan beberapa problem penyimpangan sasaran karena kurang lengkapnya data penerima bantuan. Untuk itu diperlukan adanya penelitian oleh berbagai kalangan tentang konsep jaring pengaman sosial dan implementasinya. Hasil-hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi terwujudnya masyarakat adil makmur dan sejahtera seperti amanat dan tujuan para pendiri negara ini. Kondisi bangsa Indonesia (dan bangsa-bangsa lain di dunia) sedang limbung baik secara ekonomi maupun sosial pasca pandemi Covid-19. Kondisi seperti ini semakin meneguhkan betapa pentingnya memperkuat jaring pengaman sosial. Di masa pandemi ini, program jaring pengaman sosial sangat dirasakan manfaatnya oleh keluarga miskin yang terdampak. Dengan jaring pengaman sosial yang kuat, berkelanjutan, maka masyarakat yang rentan terkena dampaknya akan dapat bertahan dari dahsyatnya peristiwa tak terduga seperti bencana, krisis ekonomi ataupun musibah lainnya. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa kemiskinan tetaplah menjadi persoalan yang harus terus mendapatkan perhatian khusus. Hal ini disebabkan efek domino yang muncul akibat kemiskinan itu. Kemiskinan rawan memunculkan konflik sosial. Banyak konflik sosial yang pemicu awalnya adalah persoalan kemiskinan. Dengan demikian dibutuhkan perwujudan jaring pengaman sosial yang dapat menjamin kesejahteraan dan keadilan secara berkelanjutan, bukan hanya untuk sementara waktu. Dibutuhkan terwujudnya sistem jaring pengaman sosial yang mapan sehingga mampu mengatasi problem sosial kemasyarakatan yang disebabkan oleh berbagai keadaan, di antaranya karena adanya pandemi global. Maka perlu terus dikembangkan penelitian untuk mendapatkan masukan ideal tentang sistem jaring pengaman sosial. Dengan demikian gagasan dalam buku ini cukup penting bagi pengarusutamaan perspektif baru atas konsep jaring pengaman sosial dan sistem perlindungan dalam Islam. Buku ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam dalam mengurai problem terkait kemiskinan dan ketidakberdayaan golongan tertentu (mustaḍ’afūn). Buku ini berusaha mengungkapkan bagaimana al-Qur’an menggariskan adanya sebuah konsep jaring pengaman sosial dalam masyarakat, sehingga tidak ada kerawanan sosial yang diakibatkan oleh kemiskinan dan kesenjangan sosial. Untuk mendapatkan konsep yang utuh, selain berdasarkan apa yang digariskan dalam al-Qur’an, buku ini juga berusaha mengungkap implementasi pelaksanaan sistem jaring pengaman sosial dalam lintasan sejarah Islam awal, yakni pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat. Masa sahabat yang dimaksud dalam buku ini adalah masa al-khulafā’ al-rāsyidīn. Implementasi jaring pengaman sosial di masa Nabi Muhammad dan al-khulafā’ al-rāsyidīn bisa jadi akan sangat berbeda ketika dihadapkan pada kehidupan saat ini. Maka yang akan diambil adalah prinsip-prinsip dasarnya untuk menjadi referensi bagi pelaksanaan sistem jaring pengaman sosial di Indonesia. Oleh karena itu buku ini berusaha mengungkap relevansi prinsip-prinsip dasar Jaring Pengaman Sosial (JPS) dalam al-Qur’an bagi bangsa Indonesia.[]

Item Type: Book
Subjects: Agama > Alqur'an
Depositing User: Unnamed user with email bimoharyosetyoko@iainsalatiga.ac.id
Date Deposited: 17 Apr 2023 04:04
Last Modified: 17 Apr 2023 04:04
URI: http://e-repository.perpus.uinsalatiga.ac.id/id/eprint/16649

Actions (login required)

View Item View Item