Chasanah, Rofingatul (2023) KESAKINAHAN DALAM PERKWINAN PAKSA PRESPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR1 TAHUN 1974 (Studi Kasus di Desa Windusari Kabupaten Magelang). [["eprint_typename_skripsi" not defined]]
Text
SKRIPSI ROFINGATUL FIX-1.pdf Download (2MB) |
Abstract
Chasanah, Rofingatul. 2022. Kesakinahan dalam Perkawinan Paksa Prespektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus di Desa Windusari Kabupaten Magelang). Skripsi. Fakultas Syariah. Program Studi Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. Ahmad Sultoni, M. Pd. Kata Kunci: Kesakinahan, Kawin Paksa, UU No. 1 Tahun 1974 Perkawinan dengan cara kawin paksa terjadi sebagai realita sosial yang tidak dapat dipungkiri. Di Desa Windusari terdapat perkawinan dengan cara perjodohan tanpa adanya persetujuan mempelai atau sering disebut kawin paksa. Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana praktik kawin paksa dan kualitas kesakinahan dalam perkawina paksa dilihat dari terpenuhinya hak dan kewajiban suami istri sebagai bentuk tercapainya kesakinahan dalam rumah tangga di Desa Windusari Kabupaten Magelang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris yaitu dengan mengumpulkan data mengenai implementasi hak dan kewajiban dalam perkawinan hasil kawin paksa di Desa Windusari. Sumber data dari penelitian ini adalah hasil wawancara, observasi dan dokumen berupa foto wawancara dengan informan yang berkaitan dengan keluarga hasil kawin paksa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkawinan dari hasil kawin paksa di Desa Windusari Kabupaten Magelang adalah sebuah perkawina yang dilaksanakan bukan karena keinginan salah satu atau kedua mempelai. Akan tetapi perkawinan ini terjadi karena perjodohan yang dilakukan oleh keluarga atau orang tua dari kedua mempelai tanpa persetujuan mempelai. Hal ini tentunya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 BAB II Pasal (6) dan merupakan menundukan pasaal tersebut. Faktor penyebab terjadinya kawin paksa adalah faktor ekonomi, faktor adat dan faktor keturunan. Kesakinahan dalam perkawinan paksa di Desa Windusari Kabupaten Magelang secara keseluruhan sudah tercapai. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang terdapat pada pasal 30 sampai pasal 34. Walaupun dalam keadaan tertentu terdapat kendala seperti keadaan ekonomi yang kurang mendukung. Masing-masing keluarga memilih membicarakan secara baik-baik antara suami istri. Sehingga tidak ada salah paham dalam mejalani rumah tangga dan saling mengerti satu sama lain. Chasanah, Rofingatul. 2022. Kesakinahan dalam Perkawinan Paksa Prespektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus di Desa Windusari Kabupaten Magelang). Skripsi. Fakultas Syariah. Program Studi Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. Ahmad Sultoni, M. Pd. Kata Kunci: Kesakinahan, Kawin Paksa, UU No. 1 Tahun 1974 Perkawinan dengan cara kawin paksa terjadi sebagai realita sosial yang tidak dapat dipungkiri. Di Desa Windusari terdapat perkawinan dengan cara perjodohan tanpa adanya persetujuan mempelai atau sering disebut kawin paksa. Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana praktik kawin paksa dan kualitas kesakinahan dalam perkawina paksa dilihat dari terpenuhinya hak dan kewajiban suami istri sebagai bentuk tercapainya kesakinahan dalam rumah tangga di Desa Windusari Kabupaten Magelang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris yaitu dengan mengumpulkan data mengenai implementasi hak dan kewajiban dalam perkawinan hasil kawin paksa di Desa Windusari. Sumber data dari penelitian ini adalah hasil wawancara, observasi dan dokumen berupa foto wawancara dengan informan yang berkaitan dengan keluarga hasil kawin paksa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkawinan dari hasil kawin paksa di Desa Windusari Kabupaten Magelang adalah sebuah perkawina yang dilaksanakan bukan karena keinginan salah satu atau kedua mempelai. Akan tetapi perkawinan ini terjadi karena perjodohan yang dilakukan oleh keluarga atau orang tua dari kedua mempelai tanpa persetujuan mempelai. Hal ini tentunya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 BAB II Pasal (6) dan merupakan menundukan pasaal tersebut. Faktor penyebab terjadinya kawin paksa adalah faktor ekonomi, faktor adat dan faktor keturunan. Kesakinahan dalam perkawinan paksa di Desa Windusari Kabupaten Magelang secara keseluruhan sudah tercapai. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang terdapat pada pasal 30 sampai pasal 34. Walaupun dalam keadaan tertentu terdapat kendala seperti keadaan ekonomi yang kurang mendukung. Masing-masing keluarga memilih membicarakan secara baik-baik antara suami istri. Sehingga tidak ada salah paham dalam mejalani rumah tangga dan saling mengerti satu sama lain. Chasanah, Rofingatul. 2022. Kesakinahan dalam Perkawinan Paksa Prespektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus di Desa Windusari Kabupaten Magelang). Skripsi. Fakultas Syariah. Program Studi Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. Ahmad Sultoni, M. Pd. Kata Kunci: Kesakinahan, Kawin Paksa, UU No. 1 Tahun 1974 Perkawinan dengan cara kawin paksa terjadi sebagai realita sosial yang tidak dapat dipungkiri. Di Desa Windusari terdapat perkawinan dengan cara perjodohan tanpa adanya persetujuan mempelai atau sering disebut kawin paksa. Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana praktik kawin paksa dan kualitas kesakinahan dalam perkawina paksa dilihat dari terpenuhinya hak dan kewajiban suami istri sebagai bentuk tercapainya kesakinahan dalam rumah tangga di Desa Windusari Kabupaten Magelang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris yaitu dengan mengumpulkan data mengenai implementasi hak dan kewajiban dalam perkawinan hasil kawin paksa di Desa Windusari. Sumber data dari penelitian ini adalah hasil wawancara, observasi dan dokumen berupa foto wawancara dengan informan yang berkaitan dengan keluarga hasil kawin paksa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkawinan dari hasil kawin paksa di Desa Windusari Kabupaten Magelang adalah sebuah perkawina yang dilaksanakan bukan karena keinginan salah satu atau kedua mempelai. Akan tetapi perkawinan ini terjadi karena perjodohan yang dilakukan oleh keluarga atau orang tua dari kedua mempelai tanpa persetujuan mempelai. Hal ini tentunya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 BAB II Pasal (6) dan merupakan menundukan pasaal tersebut. Faktor penyebab terjadinya kawin paksa adalah faktor ekonomi, faktor adat dan faktor keturunan. Kesakinahan dalam perkawinan paksa di Desa Windusari Kabupaten Magelang secara keseluruhan sudah tercapai. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang terdapat pada pasal 30 sampai pasal 34. Walaupun dalam keadaan tertentu terdapat kendala seperti keadaan ekonomi yang kurang mendukung. Masing-masing keluarga memilih membicarakan secara baik-baik antara suami istri. Sehingga tidak ada salah paham dalam mejalani rumah tangga dan saling mengerti satu sama lain. Chasanah, Rofingatul. 2022. Kesakinahan dalam Perkawinan Paksa Prespektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus di Desa Windusari Kabupaten Magelang). Skripsi. Fakultas Syariah. Program Studi Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. Ahmad Sultoni, M. Pd. Kata Kunci: Kesakinahan, Kawin Paksa, UU No. 1 Tahun 1974 Perkawinan dengan cara kawin paksa terjadi sebagai realita sosial yang tidak dapat dipungkiri. Di Desa Windusari terdapat perkawinan dengan cara perjodohan tanpa adanya persetujuan mempelai atau sering disebut kawin paksa. Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana praktik kawin paksa dan kualitas kesakinahan dalam perkawina paksa dilihat dari terpenuhinya hak dan kewajiban suami istri sebagai bentuk tercapainya kesakinahan dalam rumah tangga di Desa Windusari Kabupaten Magelang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris yaitu dengan mengumpulkan data mengenai implementasi hak dan kewajiban dalam perkawinan hasil kawin paksa di Desa Windusari. Sumber data dari penelitian ini adalah hasil wawancara, observasi dan dokumen berupa foto wawancara dengan informan yang berkaitan dengan keluarga hasil kawin paksa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkawinan dari hasil kawin paksa di Desa Windusari Kabupaten Magelang adalah sebuah perkawina yang dilaksanakan bukan karena keinginan salah satu atau kedua mempelai. Akan tetapi perkawinan ini terjadi karena perjodohan yang dilakukan oleh keluarga atau orang tua dari kedua mempelai tanpa persetujuan mempelai. Hal ini tentunya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 BAB II Pasal (6) dan merupakan menundukan pasaal tersebut. Faktor penyebab terjadinya kawin paksa adalah faktor ekonomi, faktor adat dan faktor keturunan. Kesakinahan dalam perkawinan paksa di Desa Windusari Kabupaten Magelang secara keseluruhan sudah tercapai. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang terdapat pada pasal 30 sampai pasal 34. Walaupun dalam keadaan tertentu terdapat kendala seperti keadaan ekonomi yang kurang mendukung. Masing-masing keluarga memilih membicarakan secara baik-baik antara suami istri. Sehingga tidak ada salah paham dalam mejalani rumah tangga dan saling mengerti satu sama lain. KESAKINAHAN DALAM PERKAWINAN PAKSA PRESPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 (Studi Kasus di Desa Windusari Kabupaten Magelang) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) OLEH ROFINGATUL CHASANAH NIM 33010170059 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2022 LOGO KESAKINAHAN DALAM PERKAWINAN PAKSA PRESPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 (Studi Kasus di Desa Windusari Kabupaten Magelang) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) OLEH ROFINGATUL CHASANAH NIM 33010170059 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2022 A MOTTO “Syukuri kerjamu, Kerjakan syukurmu” PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan untuk: 1. Allah SWT yang tidak henti-hentinya melimpahkan rahmat, nikamat dan inayah-Nya di dunia ini. 2. Kedua orang tuaku Bapak Dahri dan Ibu Siti Rondiyah yang telah membesarkanku dengan penuh kasih sayang, sabar membimbingku, memberikan dia, nasihat dan motivasi dalam hidupku. 3. Kakakku Arfani, Suryanto, Romandhon dan adekku Fina Suryanti yang selalu memberikan support tiada hentinya kepadaku sehingga proses pemenuhan gelar sarjana ini bisa tercapai. 4. KH. Ahmad Afif Dimyati dan segenap keluarga ndalem Pondok Pesantren Putri A. P. I Al Masykur yang selalu membimbing dan memotivasiku dalam kehidupan untuk berkhitmat untuk umat. 5. Dosen-dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah, IAIN Salatiga yang sudah mendidik dan membimbingku selama belajar di kampus tercinta. 6. Sahabat-sahabat seperjuangan Pondok Pesantren A. P. I Al Masykur yang selalu menemani hari-hariku serta membantu menyelesaikan skripsi ini dan menemani berproses di pesantren. 7. Teman-temanku, Keluarga Hukum Keluarga Islam 2017 yang sudah menemani dan berjuang bersama belajar di kampus tercinta. KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lahi Maha Penyayang yang telah melimpahkan rahmat, taufik, serta inayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “KESAKINAHAN DALAM PERKAWINAN PAKSA PRESPEKRIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 (Studi Kasus di Desa Windusari Kabupaten Magelang)”, dengan lancer. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW. Salah satu nabi pemimpin umat, yang kita nanti-nantikan syafaatnya di Yaumul Qiyamah. Untuk semua yang terlibat dalam proses ini tiada kiranya penulis tidak dapat membalas apapun, penulis hanya mampu mendoakan semoga amal ibadahnya menjadi amal yang di ridhai Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamin. Penulis menyadari sepenuhya bahwa tanpa bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak, penulisan skripsi ini tidak dapat terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terimakasih yang setulus-tulusnya kepada yang terhormabt: 1. Prof. Dr. Zakiyuddin, M. Ag selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri Salatiga. 2. Dr. Siti Zumrotun, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syariah 3. Yahya, S.Ag., M.H.I selaku Kaprodi Hukum Keluarga Islam 4. Dr. Ilyya Muhsin, S.H., M.Si. Selaku dosen Pembimbing Akademik 5. Dr. Ahmad Sultoni, M. Pd. selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan segala kerendahan hati dan keikhlasan serta kesabarannya besedia meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan, ilmu, nasihat serta masukanyang sangat berarti selama proses penyusunan skripsi ini. 6. Seluruh dosen di Fakultas Syariah yang telah mencurahkan ilmunya yang sangat berharga bagi saya dan semoga bermanfaat bagi pribadi saya khususnya dan bagi khalayak pada umumnya. Dan juga seluruh karyawan Fakultas Syariah IAIN Salatiga yang telah melayani secara administrative dengan baik dan membantu saya selama perkuliahan. 7. Pemerintah Desa Windusari dan seluruh masyarakat Desa Windusari Kecamatan Windusari Kabupaten Magelang. 8. Seluruh santriwan dan santriwati Pondok Pesantren A. P. I Al Masykur yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak juga penulis sebutkan satu persatu. Teriring doa, semoga segala kebaikan semua pihak yang membantu penulis dalam penulisan skripsi ini menjadi ladang pahala yang dapat menolongnya menuju Jannah-Nya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun selalu diharapkan demi kebaikan dan kesempatan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Aamiin. Salatiga, 31 Oktober 2022 Penulis Rofingatul Chasanah NIM. 33010170059 ABSTRAK Chasanah, Rofingatul. 2022. Kesakinahan dalam Perkawinan Paksa Prespektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus di Desa Windusari Kabupaten Magelang). Skripsi. Fakultas Syariah. Program Studi Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. Ahmad Sultoni, M. Pd. Kata Kunci: Kesakinahan, Kawin Paksa, UU No. 1 Tahun 1974 Perkawinan dengan cara kawin paksa terjadi sebagai realita sosial yang tidak dapat dipungkiri. Di Desa Windusari terdapat perkawinan dengan cara perjodohan tanpa adanya persetujuan mempelai atau sering disebut kawin paksa. Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana praktik kawin paksa dan kualitas kesakinahan dalam perkawina paksa dilihat dari terpenuhinya hak dan kewajiban suami istri sebagai bentuk tercapainya kesakinahan dalam rumah tangga di Desa Windusari Kabupaten Magelang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris yaitu dengan mengumpulkan data mengenai implementasi hak dan kewajiban dalam perkawinan hasil kawin paksa di Desa Windusari. Sumber data dari penelitian ini adalah hasil wawancara, observasi dan dokumen berupa foto wawancara dengan informan yang berkaitan dengan keluarga hasil kawin paksa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkawinan dari hasil kawin paksa di Desa Windusari Kabupaten Magelang adalah sebuah perkawina yang dilaksanakan bukan karena keinginan salah satu atau kedua mempelai. Akan tetapi perkawinan ini terjadi karena perjodohan yang dilakukan oleh keluarga atau orang tua dari kedua mempelai tanpa persetujuan mempelai. Hal ini tentunya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 BAB II Pasal (6) dan merupakan menundukan pasaal tersebut. Faktor penyebab terjadinya kawin paksa adalah faktor ekonomi, faktor adat dan faktor keturunan. Kesakinahan dalam perkawinan paksa di Desa Windusari Kabupaten Magelang secara keseluruhan sudah tercapai. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang terdapat pada pasal 30 sampai pasal 34. Walaupun dalam keadaan tertentu terdapat kendala seperti keadaan ekonomi yang kurang mendukung. Masing-masing keluarga memilih membicarakan secara baik-baik antara suami istri. Sehingga tidak ada salah paham dalam mejalani rumah tangga dan saling mengerti satu sama lain. DAFTAR ISI COVER i LOGO ii JUDUL iii NOTA PEMBIMBING iv PENGESAHAN v PERNYATAAN KEASLIAN DAN PUBLIKASI vi MOTTO vii PERSEMBAHAN viii KATA PENGANTAR ix ABSTRAK xi DAFTAR ISI xii DAFTAR TABEL xiv DAFTAR GAMBAR xv DAFTAR LAMPIRAN xvi BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1 B. Rumusan Masalah 9 C. Tujuan Penelitian 9 D. Manfaat Penelitian 10 E. Penegasan Istilah 10 F. Telaah Pustaka 12 G. Kerangka Teoritik 15 H. Metode Penelitian 21 I. Sistematika Pembahasan 27 BAB II KESAKINAHAN DALAM PERKAWINAN KAWIN PAKSA 28 A. Perkawinan 28 1. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan 28 B. Sakinah 42 C. Kawin Paksa 46 1. Pengertian Kawin Paksa 46 2. Faktor-faktor Kawin Paksa 47 3. Dampak Kawin Paksa 50 BAB III KESAKINAHAN DALAM PERKAWINAN PAKSA PRESPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI DESA WINDUSARI KABUPATEN MAGELANG 54 A. Gambaran Umum 54 B. Fenomena Kawin Paksa yang Terjadi di Desa Windusari Kabupaten Magelang 57 BAB IV ANALISIS KESAKINAHAN DALAM PERKAWINAN PAKSA PRESPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 74 A. Analisis Fenomena Kawin Paksa yang Terjadi Di Desa Windusari Kabupaten Magelang 74 B. Analisis Kualitas Kesakinahan dalam Perkawinan Paksa Prespektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 di Desa Windusari Kabupaten Magelang 76 BAB V PENUTUP 88 A. Kesimpulan 88 B. Saran 89 C. Penutup 90 DAFTAR PUSTAKA 91 LAMPIRAN-LAMPIRAN 76 DAFTAR TABEL Tabel 4. 1 Tabel Implementasi Hak dan Kewajiban 86 DAFTAR GAMBAR Gambar 3. 1 Pasangan Bapak MLHH dan Ibu SM 62 Gambar 3. 2 Wawancara Ibu S 64 Gambar 3. 3 Keluarga Bapak T dan Ibu S 65 Gambar 3. 4 Wawancara Ibu SR 66 Gambar 3. 5 Wawancara dengan Ibu S 70 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Sistem Kredit Kegiatan 76 Lampiran 2 Penunjukan Pembimbing Skripsi 78 Lampiran 3 Permohonan Izin Penelitian 76 Lampiran 4 Lembar Konsultasi 77 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan atau perkawinana ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Masih dalam kaitan dengan definisi perkawinan (pernikahan) kita juga bisa melihat peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dalam kaitan ini Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan demikian: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Allah berfirman dalam Q, S. An-Nisa ayat 3: وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim.” Adapun tentang makna pernikahan secara terminologi ulama fiqih berbeda dalam mengungkapkan pendapatnya, antara lain: 1. Ulama Hanafi, mendefinisikan pernikahan sebagai akad yang berguna untuk memiliki muah dengan sengaja. Artinya laki-laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan atau kepuasan. 2. Ulama Syafi‟i, mendefinisikan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan menggunakan lafadz nikah atau yang menyimpan arti memiliki, artinya pernikahan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasanganya. 3. Ulama Maliki, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang mengandung arti untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan adanya harga. 4. Ulama Hambali, menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan menggunakan lafadz nikah/at-taqwiij untuk dapatkan kepuasan, artinya seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya. Perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan manusia yakni laki-laki dan perempuan, melainkan mengikatkan tali perjanjian yang suci atas nama Allah, bahwa kedua mempelai berniat membangun rumah tangga yang sakinah, tentram, dan dipenuhi oleh rasa cinta dan kasih sayang. Sehingga dapat kita ketahui bahwasanya tujuan pernikahan yang sejati dalam Islam adalah pembinaan akhlak manusia dan memanusiakan manusia sehingga hubungan yang tejadi antara dua gender yang berbeda dapat membangun kehidupan yang baru secara sosial dan kultural. Tujuan perkawinan menurut agama Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya tmerciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbulah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga. Dalam membangun rumah tangga tentunya memiliki beberapa prinsip agar tujuan pernikahan dapat tercapai. Adapun prinsip-prinsip dalam Islam antara lain: 1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama. Pernikahan dilakukan tentunya guna memenuhi dan melaksanaakan perintah agama yang kita tahu bahwa perikahan adalah sunnah nabi yang pada hakikatnya merupakan ajaran agama. Agama mengatur perkawinan mulai dari rukun beserta syarat, apabila salah satu syarat dan rukun tidak terpenuhi, maka perkawinan itu batal atau fasid. 2. Kerelaan dan persetujuan. Sebagai salah satu syarat yang harus terpenuhi oleh pihak yang hendak melangsungkan perkawinan adalah Ikhtiyar (tidak terpaksa). Kerelaan calon isti atau sumi merupakan hal sangat penting dan perlu dipertimbangkan oleh walinya. 3. Perkawinan untuk selamanya. Tujuan pernikahan antara lain untuk mendapat keturunan dan untuk ketenangan, ketentraman dan cinta serta kasih sayang. Semua ini dapat dicapai hanya dengan prinsip bahwa perkawinan adalah untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja. 4. Suami sebagai penanggung jawab umum dalam rumah tangga. Dalam hukum Islam, tidak selamanya wanita dan pria mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Akan tetapi dalam Islam, seorang suami mempunyai keududukan lebih tinggi dari istri bukan berarti bahwa suami berkuasa atas istri. Kelebihan suami atas istri dalam rumah tangga adalah pemimpin rumah tangga . Mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia tentu diharapkan oleh setiap pasangan hidup, Islam telah mewanti-wanti semenjak awal dalam hal memilih pasangan hidup untuk mengarungi bahtera rumah tangga, Islam telah menggariskan dengan jelas bahwa pilihan yang baik adalah salah satu faktor yang dapat menciptakan kehidupan keluarga Islami, harmonis, dan cinta kasih pada pasangan suami istri. Islam telah memberikan kebebasan kepada wanita untuk memilih suami dan pasangan hidupnya, tidak boleh memaksakan wanita untuk menikah dengan pria yang tidak ia sukai. Jika seorang wanita dipaksa untuk menikah dengan pria yang tidak ia sukai, maka walinya boleh membatalkan pernikahan itu. Dasar untuk memilih pasangan hidup adalah agama dan akhlaknya. Orang yang memilih pasangan hidupnya dengan berpegang pada kedua dasar ini, maka ia dianggap telah memilih pasangan dengan baik. Sedangkan orang yang tidak menghiraukan kedua pondasi ini, berarti ia telah menggunakan standar yang buruk dalam memilih pasangannya. Orang yang memilih pendamping hidup hanya dengan memperhatikan harta, kedudukan, kecantikan, dan penampilan, maka sungguh telah benar-benar nyata kerugiannya. Banyak sekali alasan mengapa agama yang harus lebih diperhatikan, salah satunya karena seorang wanita yang memiliki pemahaman agama yang baik akan dapat menolong suaminya untuk selalu dalam ketaatan. Biasanya orang tua atau keluarga dalam pemilihan pasangan hidup dilandaskan atas dasar pertimbangan “bibit, bebet, bobot”. Faktor bibit memperhitungkan benih asal keturunan yaitu, memilih bibit sumber keluarga yang sehat jasmani dan rohaninya. Bebet berarti keluarga yang pada umumnya seseorang dalam memilih pasangan hidup pastinya mempertimbangkan dari keluarga mana pasangannya berasal. Setiap orang tentunya mendambakan pasangan hidup dari keluarga keturunan bangsawan atau keluarga yang mempunyai darah biru. Biasanya seseorang yang berasal dari keturunan bangsawan memiliki sikap, sifat, dan wawasan yang luas sehingga diharapkan akan menghasilkan keturunan dengan sifat, sikap, dan memiliki wawasan yang luas pula. Bobot di sini diartikan sebagai keluarga yang mempunyai harkat, martabat, dan ilmu pengetahuan yang lengkap. Kekuasan dan status sosial yang cukup dalam masyarakat membuat mereka dihargai dikalangan masyarakat, tidak hanya kekayaan dan kekuasan yang dihargai tetapi juga spiritual dan nilai-nilai rohaninya. Seseorang melaksanakan pernikahan tentunya mempunyai alasan dan pertimbagan sendiri terhadap pasanganya. Seperti dijelaskan diatas, bahwa faktor bibit, bebet, dan bobot juga mempengaruhinya. Hal ini terjadi dibeberapa pernikahan dikehendaki oleh orang tua saja atau sering disebut dengan perjodohan. Padahal dapat diketahui bahwasanya persetujuan atau kesepakatan kedua mempelai juga menjadi pengaruh tercapainya tujuan pernikahan. Seperti dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bagian BAB II tentang Syarat-Syarat Perkawinan yang terdapat pada pasal 6 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974, yang berbunyi: “Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.” Perkawinan yang sakinah mawadah wa rahmah merupakan jenjang sakral yang diidamkan oleh dua insan yang saling mencintai. Rasa saling cinta-mencintai, hormat-menghormati dan saling memahami dalam kehidupan rumah tangga dan bersosial di masyarakat yang sesuai pada kemampuan masing-masing, seperti suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala seuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan bagi istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya. Maka dalam suatu perkawinan adanya suka sama suka arau sukarela adalah hal yang sangat penting guna mendukung berjalannya perkawinan kedepannya. Setiap rumah tangga pasti akan diuji dengan berbagai permasalahan dan menguji ketangguhan pasangan suami istri tentang seberapa kuat dalam mempertahankan rumah tangganya. Padahal pasangan suami istri tersebut belum saling kenal mengenal, maka diperlukan komunikasi dan pemahaman satu sama lain guna menghadapi setiap permasalahan yang ada. Jika pasangan suami istri bisa menyelesaikan permasalahan dengan baik, maka rumah tangganya akan berjalan dengan lancar. Tetapi jika pasangan suami istri tidak dapat menyelesaikan permasalahan maka akan berujung pada perceraian. Oleh karena itu, dalam perkawinan itu perlu adanya ikatan lahir dan batin. Antara suami istri harus saling cinta mencintai satu dengan yang lain, tidak adanya paksaan dalam perkawinan. Bila perkawinan dengan paksaan, tidak adanya cinta kasih satu dengan yang lain. Dimana ikatan batin ini dapat menyatukan satu sama lain baik dalam berkomunikasi maupun menghadapi permasalahan rumah tangga. Namun dengan adanya kebiasaan kawin paksa yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, yang sangat mungkin berlangsung tanpa kerelaan pasangan akan menjadikan kurang baiknya dalam komunikasi dan tidak akan membantu dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga kedepannya. Hal ini berawal dari perkawinan yang tidak dilandasi cinta kasih dan berangkat dari keterpaksaan semata. Melihat fenomena yang terjadi di Desa Windusari Kabupaten Magelang masih banyak terjadi perkawinan paksa. Perkawinan ini dilakukan oleh beberapa orang tua yang menginginkan anaknya menikah dengan pilihan orang tuanya. Maka dengan melihat latar belakang yang peneliti uraikan mengenai tujuan dari pernikahan yaitu sakinah, mawadah, warahmah, maka dari itu peneliti ingin meneliti lebih dalam seputar penerapan hak dan kewajiban pasagan suami istri hasil perjodohan untuk mencapai kesakinahan dalam perkawinan dan mengemasnya dalam judul: ”Kesakinahan dalam Perkawinan Paksa Prespektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus di Desa Windusari Kabupaten Magelang ). B. Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana fenomena kawin paksa yang terjadi di Desa Windusari Kabupaten Magelang? 2. Bagaimana Kualitas Kesakinahan dalam Perkawinan Paksa Prespektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1874 di Desa Windusari Kabupaten Magelang? C. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian adalah untuk menemukan, mengembangkan dan membuktikan pengetahuan. Tujuan penelitian menyatakan tentang target atau capaian sebuah penelitian. Tujuan ini dapat dirumuskan dalam pokok-pokok tujuan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah. Berdasarkan rumusan masalah diatas tujuan yang hendak peneliti diskusikan dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui fenomena kawin paksa yang terjadi di Desa Windusari Kabupaten Magelang. 2. Mengetahui Kualitas Kesakinahan dalam Perkawinan Paksa Prespektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1874 di Desa Windusari Kabupaten Magelang. D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut: 1. Secara teoritis Menambah ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya dibidang pernikahan yang dapat digunakan sebagai acuan bagi pihak-pihak yang melakukan penelitian lanjutan dan dapat juga digunakan sebagai bahan refleksi atau masukan bagi peneliti yang tema dan kajiannya hampir sama dengan penelitian ini. 2. Secara praktis a. Mengetahui kualitas kesakinahan dalam perkawinan paksa prespektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1874 b. Digunakan guna memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Hukum Keluarga Islam IAIN Salatiga. E. Penegasan Istilah Agar didalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran kata yang berbeda dengan maksud peneliti, maka penelitian akan menjelaskan istilah judul ini. 1. Kesakinahan Kata kesakinahan berasal dari kata sakinah. Disebuatkan dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) bahwa sakinah mempunyai arti kedamaian, ketrentraman, ketenangan dan kebahagiaan. Adapun yang dimaksud dengan kata kesakinahan dalam skripsi ini adalah kondisi yang sesuai dan ideal dalam rumah tangga yang dicapai melalui pemenuhan hak dan kewajiban dalam perkawinan. 2. Kawin paksa Kawin paksa dalam arti bahasa berasal dari dua kata, yaitu “kawin” dan “paksa”. Kawin dalam kamus bahasa Indonesia berarti perjodohan antara laki-laki dan perempuan sehingga menjadi suami istri, sedangkan paksa adalah mengerjakan sesuatu yang diharuskan walaupun tidak mau. Maka dapat diartikan bahwa kawin paksa adalah suatu perkawinan yang dilaksanakan tidak atas kemauan sendiri (jadi karena desakan atau tekanan) dari orang tua ataupun pihak lain yang mempunyai hak untuk memaksanya menikah. 3. UU No. 1 Tahun 1974 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah undang-undang yang membahas tentang perkawinan yang didalamnya terdapat 15 BAB pembahasan, dan 67 pasal berkaitan dengan perkawinan, seperti dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan dan lain-lain. F. Telaah Pustaka Telah pustaka atau tinjauan pustaka memuat tentang uraian pokok tentang hasil penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya yang memiliki kemiripan dari berbagai sudut pandang. Adapun penelitian-penelitian yang membahas terkait kesakinahan dalam perkawina paksa prespektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sejauh pengamatan peneliti belum ditemukan, tetapi terdapat penelitian yang bersinggungan dengan penelitian ini diantaranya sebagai berikut: Skripsi yang disusun oleh Yeni Mulyati (2002), dengan judul “Perjodohan Secara Paksa Prespektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Bantarbarang Kecamatan Rembang Kabupaten Purbalingga)”, bahwa perjodohan dilakukan karena faktor usia, faktor ekonomi, faktor keberatan, faktor pendidikan, dan faktor masa depan. Sedangkan pentingnya wali dalam Kompilasi Hukum Islam adalah mutlak atas kehendaknya untuk melakukan perjodohan terhadap anaknya. Karena wali merupakan syarat sahnya suatu perkawinan yang berlaku untuk calon mempelaiwanita atau pria. Oleh karena itu wali berperan aktif dalam proses pemilihan pasangan yang tepat. Hal ini sejalan dengan Hukum Islam yang membolehkan perjodohan secara paksa asalkan memudahkan kedua belah pihak dan sesuai dagan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam kaidah-kaidah Islam. Skripsi yang disusun oleh Andi Syamsul Bahri (2014), dengan judul Budaya Kawin Paksa di Desa Cenrana, Kec. Kahu, Kab. Bone (Analisa Efektifitas Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), bahwa pernikahan karena paksaan terjadi dikarenakan orang tua yang tidak menginginkan harta mereka jatuh ketangan orang lain, oleh karena sebab itu mereka menjodohkan anaknya dengan keluarga atau kerabat dekat mereka. Pernikahan yang dilakukan tidak dilandasi unsur sukarela mengakibatkan pernikahan tersebut tidak dapat bertahan lama. Pasangan suami istri terus mengalami pertengkaran yang tiada hentinya. Sehingga tujuan awal pernikahan untuk membentuk keluarga sakinah mawaddah wa rahmah tidak dapat terlaksana. Skripsi yang disusun oleh Aminatul Nihriroh (2018), dengan judul “Kawin Paksa Sebagai Faktor Penyebab Perceraian di Pengadilan Agama Demak Tahun 2016”, bahwa faktor yang menjadi penyebab perceraian karena kawin paksa di Pengadilan Agama Demak yaitu antara dua pihak sering terjadi pertengkaran dan perselisihan yang disebabkan karena perkawinan mereka yang didasarkan atas dasar paksaan. Dan antara keduanya sudah tidak ada komunikasi lagi, sehingga menimbulkan permasalahan antara suami dan istri yang berujung pada perceraian. Dasar pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara perceraian yang disebabkan karena kawin paksa di Pengadilan Agama Demak yaitu sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan sudah mengikuti ajaran agama Islam yaitu berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam juga berdasarkan Ijtihad para hakim. Skripsi yang disusun Is Addurofiq (2010), dengan judul “Praktik Kawin Paksa dan Faktor Penyebabnya (Studi Kasus di Desa Dabung Kecamatan Geger Kabupaten Bangkalan)”, bahwa pernikahan dilakukan dihadapan tokoh ulama dan dilakukan secara sirri. Sedangkan factor yang mempengaruhi pernikahan tersebut yaitu karena keinginan orang tua, mendekatkan hubungan tali persaudaraan, tidak melunasi hutang, dan karena tradisi masyarakat Desa Dabung atas permintaan tokoh masyarakat atau kyai. Skripsi yang disusun oleh Mujidatus Sa’adah (2001), dengan judul “Dampak Perkawinan Paksa Terhadap Kehidupan Rumah Tngga (Studi Kasus Di Desa Pandanajeng, Kecamatan Tumpang, Kbupaten Malang)”. Adapun hasil penelitian adalah mendiskripsikaan secara umum tentang sebab-sebab yang mengakibatkan tidak langgengnya rumah tangga karena pertengkaran dan kurangnya nafkah terhadap keluarga karena tidak ada kesiapan rumah tangga. Penelitian ini dengan penelitian yang ada diatas mempunyai beberapa persamaan seperti sama membahas perkawinan yang dalam pencapaiannya masih menggunakan tradisi perjodohan baik paksa atau tidak paksa. Sedangkan perbedaan dengan tiga penelitian diatas dalam hal fokus penelitian. Penelitian ini membahas kualitas kesakinahan dalam perkawinan paksa implementasi dilihat dari penerapan hak dan kewajiban suami istri dari hasil kawin paksa yang terjadi di Desa Windusari, Kabupaten Magelang, sedangkan penelitian diatas berfokus pada hukum kawin paksa sesuai Hukum Islam dan Hukum Positif dan akibat dari kawin paksa tersebut. G. Kerangka Teoritik 1. Kawin Paksa dalam Perkawinan a. Perkawinan dalam Islam Perkawinan menurut Islam ialah suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih sayang, aman tentram, bahagia dan kekal. Menurut Kompilasi Hukum Islam pada pasal 2 menjelaskan bahwa: Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhon untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Menurut mazhab Hanafiah nikah adalah akad yang memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar bagi seoarang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis. Sedangkan menurut mazhab Maliki, nikah adalah sebuah ungkapan (sebutan) atau titel bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata-mata. Mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa nikah dirumuskan dengan akad yang menjamin kepemilikan untuk bersetubuh dengan menggunakan lafal “inkah atau tazwij” atau makna dari keduanya. Sedangkan ulama Hanabilah mendefinikan nikah dengan akad yang dilakukan dengan menggunakan kata inkah dan tazwij guna mendapatkan kesenangan (bersenang-senang). b. Pengertian Kawin Paksa Perjodohan yang dipaksakan atau yang dikenal dengan “kawin paksa” dalam arti bahasa berasal dari kata “kawin” dan “ paksa”. Maka dapat kita ketahui bahwa kawin paksa berarti perkawinan yang dilaksanakan tidak atas kemauan sendiri (karena tekanan atau desakan) dari orang tua ataupun pihak lain yang mampunyai hak untuk memaksanya nikah. Kawin paksa juga dikenal dengan nikah ijbar. Ijbar merupakan suatu perbuatan yang menyangkut tanggung jawab yang selama ini dipahami oleh masyarakat sebagai hak keluarga memaksakan kehendaknya untuk menikahkan anaknya tanpa persetujuannya terlebih dahulu. Mengenai kawin paksa (ijbar) sendiri memiliki arti perkawinan yang dilakukan dengan cara pemaksaan atau mengawinkan seseorang dengan cara pemaksaan dan tidak ada kerelaan diantara dua pihak. Secara eksplisit al-Quran menjelaskan bahwa seorang wali (ayah, kakek, dan seterusnya) tidak boleh memaksakan anak perempuannya untuk menikah jika anak tersebut tidak menyetujuinya atau jika anak perempuan tersebut mau menikah dengan laki-laki pilihannya, sementara seoarang wali enggan atau tidak mau menikahkannya. Al-Quaran surat al-Baqarah: 234 menyebutkan: “Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu menghalangi mereka kawin lagi dengan calon suaminya apalagi telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma’ruf”. Tafsir terhadap ayat tersebut, sebagaimana dijelaskan al-Jaziri adalah: (a) khitbah ayat tersebut diperuntukkan kepada para wali (ayah, kakek, dan saudara laki-laki) untuk tidak menolak menikahkan perempuan yang ada dibawah perwaliannya. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan wali nikah pada masa Nabi ada dan eksis, sehingga perkawinan tanpa adanya wali tidak dibenarkan, (b) khitbah tersebut diperuntukkan kepada masyarakat umum, (c) sebagai konsekuensinya, bahwa enggan menikahkan atau sebaliknya memaksa menikahkan sama-sama tidak dibenarkan, dan (d) dari sinilah secara implisit membolehkan wanita untuk menikah sendiri dan tidak seorangpun boleh menolaknya asal ada kebaikan di masa depannya. Kata zhahir pada ayat tersebut dapat difahami, bahwa seorang wali tidak boleh semena-mena terhadap anak perempuan yang berada dibawah perwaliannya, baik untuk memaksa menikah dengan pilihan wali atau sebaliknya enggan menikahkan karena tidak sesuai dengan pilihan wali. Secara hukum kawin paksa adalah perkawinan yang dilaksanakan tanpa didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, hal ini bertentangan dengan pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyai: “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”. Syarat pernikahan pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai yang melangsungkan perkawinan. Adanya persetujuan kedua calon mempelai sebagai salah satu syarat perkawinan dimaksudkan agar supaya setiap orang dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga dalam perkawinan. c. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Undang-Undang Perkawinan Terciptanya pernikahan yang sakinah mawadah dan warahmah tidak akan tercapai tanpa adanya kesadaran akan hak dan kewajiban suami istri. hal ini diatur dalam pasal 30-34 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU Perkawinan hak dan kewajiban suami istri yang terdapat pada pasal 30 diterangkan bahwa “Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.” Artinya dalam suatu rumah tangga baiknya saling menegakkan dan menguatkan akan berjalannya rumah tangga yang dibangun. Selain itu terdapat dalam pasal 31 yang berisi sebagai berikut: (1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang denga hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Artinya dalam suatu keluarga tidak ada perbedaan kedudukan secara hukum, hanya saja seorang suami dan istri mempunyai peran yang berbeda dalam membangun rumah tangga. Pasal 32 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa: (1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tepat. (2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama. Sehingga dapat kita ketahui bahwa dalam suatu rumah tangga suami mempunyai tanggung jawab dalam memberikan tempat kediaman sebagai tempat berteduh bagi keluarganya yang disepakati bersama istri. Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa, “Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”. Hal ini tentunya menjadi hal yang sangat penting dalam suatu keluarga guna membangun hubungan yang harmonis. Karena dengan adanya saling mencitai, hormat menghormati dan bantu membantu, maka suatu keluarga akan saling mengerti satu sama lain guna menetralisis adanya permasalahan dalam keluarga. Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa: (1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Pasal ini menjelaskan bahwa dalam suatu keluarga suami mempunyai kewajiban dalam melindungi dan memcukupi kebuhan sehari-hari keluarganya. Kemudian istri juga mempunyai kewajiban dalam mengatur keperluan rumah tangganya. H. Metode Penelitian Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Metode penelitian merupakan pisau bedah untuk mengetahui permasalahan yang diajukan dalam penelitian. Metode penelitian empiris ialah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk dapat melihat hukum dalam artian nyata serta meneliti bagaimana bekerjanya hukum di suatu lingkungan masyarakat. Dikarenakan dalam penelitian hukum empiris ini ialah meneliti orang dalam hubungan hidup di masyarakat maka metode penelitian hukum empiris dapat juga dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis. sebagai berikut: 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah dengan menggunakan metode pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis yang dimaksud adalah hukum dilihat sebagai norma atau das sollen, karena dalam melakukan pembahasan dalam penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum (baik hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik bahan hukum primer, sekunder maupun tersier). Sedangkan pendekatan empiris adalah dengan melihat hukum sebagai kenyataan sosial, kultural atau das sein karena dalam penelitian ini data yang digunakan yaitu data primer yang diperoleh langsung dari lokasi penelitian. Jadi, pendekatan yuridis empiris yang dimaksud dalam penelitian ini adalah menganalisis permasalahan yang telah dirumuskan dengan memadukan bahan-bahan hukum baik primer, sekunder maupun tersier dengan dat primer yang diperoleh di lapangan yaitu tentang pelaksanaan hak dan kewajiban dalam perkawinan hasil kawin paksa di Desa Windusari Kabupaten Magelang untuk mencapai kesakinahan dalam rumah tangga. 2. Kehadiran Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode dua arah yaitu dimana adanya interaksi antara peneliti dengan subjek hukum. Dalam hal ini peneliti menggunakan sosiologis untuk memperoleh data yang aktual dan relevan sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu mencari informan guna melengkapi data. Kehadiran peneliti disini mencoba menggali lebih jauh tentang implementasi hak dan kewajiban dalam perkawinan hasil kawin paksa dan melibatkan langsung subjek hukum atau dengan kata lain penelitian ini telah diketahui oleh subjek penelitian. 3. Lokasi penelitian Dalam penelitian ini, peneliti memilih lokasi di Desa Windusari Kabupaten Magelang. Adapun alasan peneliti memilih lokasi ini karena di desa tersebut masih ada peristiwa perjodohan dengan cara paksa yang dalam perjalanan perkawinan saat ini masih harmonis. Hal ini tentuya tidak lepas dari hak dan kewajiban dalam perkawinan. 4. Sumber data Ada dua bentuk sumber data dalam penelitian yang akan dijadikan peneliti sebagai pusat informasi pendukung data yang dibutuhkan dalam penelitian, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. a. Sumber Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari. Adapun sumber data pada primernya adalah wawancara kepada empat pasangan suami-istri yang menikah dari hasil kawin paksa di Desa Windusari Kabupaten Magelang. b. Sumber Data Sekunder Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui pihak lain, tidak langsung diperoleh peneliti dari subyek penelitiannya. Peneliti menggunakan data ini sebagai pendukung yang berhubungan dengan sekripsi. Data ini diperoleh dari berbagai buku-buku, artikel, pendapat para ahli, atau sumber lain yang dianggap relevan dan berhubungan dengan penelitan ini. 5. Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan wawancara mendalam (in-depth) secara terbuka dan observasi. Dalam metode pengumpulan data ini, peneliti menggunakan metode wawancara (interview) dan observasi. a. Wawancara Mendalam (depth interview) Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti. Guna melengkapi data yang dibutuhkan peneliti, maka kami memberikan wawancara kepada pihak-pihak yang berwenang. b. Observasi Observasi adalah aktivitas terhadap suatu proses atau objek dengan maksud merasakan dan kemudian memahami pengetahuan dari sebuah fenomena berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang sudah diketahui sebelumnya, untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan untuk melanjutkan suatu penelitian. Dalam observasi ini, peneliti pernah terlibat dalam kegiatan sehari-hari yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh narasumber. c. Dokumentasi Menurut Sugiyono, dokumentasi adalah catatan-catatan peristiwa yang telah lalu, yang bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya monumental seseorang. Dengan kata lain, dokumentasi adalah sumber informasi yang berbentuk informasi yang berbentuk bukan manusia (non human resources), baik foto maupun statistik. Dokumentasi yang peneliti dapatkan saat melakukan wawancara kepada narasumber berupa foto pasangan kawin paksa letika sudah berumah tangga. 6. Metode Analisis Data Analisis data proses penguraian data, pelitan dan pengaturan secara sistematis transkip-transkip wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain agar peneliti dapat menyajikan temuannya. Analisis data yang digunakan adalah dengan analisis data deskriptif kualitatif. Metode analisis data deskriptif kualitatif berguna untuk mengembangkan teori yang telah dibangun dari data yang telah diperoleh di lapangan. Metode penelitian kualitatif pada tahap awalnya peneliti melakukan penjelajahan, lalu melakukan pengumpulan data hingga mendalam, mulai dari observasi sampai penyusunan laporan. 7. Keabsahan Data Untuk memperoleh kesimpulan yang tepat dalam penelitian kualitatif, maka harus didukung data yang tepat pula. Dalam penelitian kualitatif ini digunakan cara triangulasi dalam keabsahan data. Triangukasi data adalah pengecekan data dengan cara pengecekan atau pemeriksaan ulang. Dalam buku lain juga dijelaskan bahwa triangulasi adalah pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dab berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data dan waktu. I. Sistematika Pembahasan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, yang mana setiap babnya terdiri dari suatu rangkaian pembahasan yang berhubungan satu dengan yang lainnya, sehingga membentuk suatu uraian sistematis dalam satu kesatuan yang utuh dan benar. Bab I berisis pendahuluan, yang memuat menganai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab II berisi mengenai pengertian,dasar hukum, tujuan, prinsip pernikahan, hak dan kewajiban suami istri dalam perundang-undangan. Dan pembahasan menganai kawin paksa yang meliputi pengertian kawin paksa dan faktor-faktor kawin paksa. Bab III berisi tentang monografi demografi Desa Windusari, biografi narasumber, dan data hasil wawancara narasumber tentang fenomena kawin paksa Bab IV Analisa terkait Kesakinahan dalam Perkawinan Paksa Prespektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 di Desa Windusari Kabupaten Magelang. Bab V penutup, yang meliputi kesimpulan, saran-saran dan kritik. BAB II KESAKINAHAN DALAM PERKAWINAN KAWIN PAKSA A. Perkawinan 1. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan a. Pengertian Perkawinan Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang diinginkan dan sakral bagi setiap individu untuk mensahkan tali asmara antara laki-laki dan perempuan. Sehingga diakui oleh negara dan kepercayaannya serta bisa melakukan tindakan hukum. Perkawinan (az-zawaj) menurut pengertian ahli hadis dan ahli fiqh adalah hubungan terjalin antara suami istri dengan ikatan hukum Islam, dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun pernikahan, seperti wali, mahar, dua saksi, yang adil dan disahkan dengan ijab dan qabul. Kata az-zawaj (pernikahan) dan at-tazwij (menikahkan) sering digunakan dalam hubungan suami istri, serta hubungan yang timbul akibat pengaruh individual kemasyarakat. Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Prodjodikoro, perkawinan adalah hidup bersama antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang telah memenuhi syarat-syarat dalam peraturan hukum perkawinan. Jadi, hakikatnya perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk berumah tangga dalam jangka waktu yang tidak terbatas serta mempunyai tujuan yang sama. Pada dasarnya suatu perkawinan yang dianggap sah ialah perkawinan yang dianggap sah ialah perkawinan yang dilakukan berdasarkan hukum dan kepercayaan masing-masing mempelai atau calon pasangan suami istri. b. Hukum Perkawinan Mayoritas ulama berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnah. Golongan Zahiriyah berpendapat bahwa nikah itu hukumnya wajib. Para ulama Malikiyah mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Fuqaha berpendapat bahwa nikah itu wajib bagi sebagian orang, sunnah untuk sebagian yang lain dan mubah untuk yang lain, maka pendapat ini didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan. Dalil Al-Quran Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 3 dan Al A’raf ayat 189 sebagai berikut: وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ Artinya: Dan jika kamu khawatir tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim. هُوَ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ اِلَيْهَاۚ فَلَمَّا تَغَشّٰىهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيْفًا فَمَرَّتْ بِهٖ ۚفَلَمَّآ اَثْقَلَتْ دَّعَوَا اللّٰهَ رَبَّهُمَا لَىِٕنْ اٰتَيْتَنَا صَالِحًا لَّنَكُوْنَنَّ مِنَ الشّٰكِرِيْنَ Artinya: Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurnya, (istrinya) mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian ketika dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhan Mereka (seraya berkata),: Jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami selalu bersyukur. Di Indonesia, umumnya masyarakat memandang bahwa hukum asal melakukan perkawinan ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi pendapat ulama Syafi’iyah. Terlepas dari pendapat-pendapat imam mazhab, nash-nash baik Al-Quran maupun As-Sunnah, Islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampu untuk bersegera melangsungkan pernikahan. Akan tetapi kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka melaksanakan pernikahan itu dapta dikenakan hukum wajib, sunah, haram, makruh ataupun mubah. 1) Wajib bagi orang yang sudah mampu, baik secara lahir maupun batin, nafsunya sudah mendesak dan takut terjerumus pada perzinahan, serta sudah mempunyai calon untuk dinikahi. 2) Sunnah bagi orang yang nafsunya sudah mendesak dan mampu menikah tetapi masih mampu menahan dirinya dari berbuat zina, hukum menikah baginya adalah sunnah. Mengingat nikah adalah sunnah (kelakuan baik) para rasul Allah, maka Nabi Muhammad SAW tegas-tegas melarang umatnya dari kemungkinan membunjang untuk selama-lamanya (tabattul) tanpa ada udzur syar’i. 3) Haram, yaitu bagi seseorang yang yakin tidak akan mampu memenuhi nafkah lahir dan batin kepada pasangannya, atau jika menikah akan membahayakan pasangannya, dan nafsunya masih bisa dikendalikan, maka hukumnhya haram untuk menikah. 4) Makruh, yaitu bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan lahir batin, namun istrinya mau menerima kenyataan tersebut, maka hukumnya makruh. c. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 ialah untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagaimana tujuan perkawinan yang tertera dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, Mawaddah dan rahmah.” Tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia, sekaligus juga untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan, mencegah terjadinya perzinahan agar tercipta ketenangan dan ketrentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat. Beberapa tujuan perkawinan yaitu sebagai berikut: 1. Menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk memenuhi kebutuhan tabiat manusia. 2. Membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 3. Memperoleh keturunan yang sah. 4. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, memperbesar rasa tanggung jawab. 5. Membentuk rumah tangga yang sakinah, mawadah wa rahmah (keluarga yang tentram, penuh cinta kasih, dan kasih sayang). 6. Sebagai ajang mitsaqan ghalidan sekaligus untuk menaati perintah Allah SWT yang bertujuan untuk membentuk dan membina ikatan kahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai sepasang suami istri dalam kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan syariat Hukum Islam. Menurut Slamet Abidin, tujuan pernikahan ada dua, yaitu: 1. Sarana libido seksualitas Semua manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai insting seks, hanya sekedar dan intensuitasnya yang beda. Maka dengan pernikahan, seorang laki-laki dapat menyalurkan nafsu seksualnya pada seorang perempuan dengan sah dan begitu juga sebaliknya. 2. Memperoleh Keturunan Insting untuk mendapatkan keturunan juga dimiliki oleh pria maupun wanita, akan tetapi perlu diketahui bahwa mempunyai anak bukanlah suatu kewajiban melainkan amanat dari Allah SWT. walaupun dalam kenyataannya ada seseorang yang ditakdirkan tidak mempunyai anak. d. Prinsip-Prinsip Perkawinan Menurut pendapat Musdah Mulia menelaskan bahwa prinsip perkawinan tersebut ada empat yang didasarkan pada ayat-ayat Al-Quran, yaitu: 1. Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh Prinsip ini sebenarnya kritik terhadap bangsa Arab yang memandang rendah wanita. Sehingga untuk dirinya saja wanita tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan apa yang terbaik pada dirinya. Oleh sebeb itu kebebasan memilih odoh adalah hak dan kebebasan bagi laki-laki dan perempuan selagi tidak bertentangan dengan syari’at Islam. 2. Prinsip mawaddah wa rahmah Dalam Q. S. ar-Rum ayat 21 menjelaskan bahwa Mawaddah wa rahmah merupakan karakter manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Jika hewan melakukan hubungan seksual semata-mata untuk kebutuhan seks sendiri juga dimaksud untuk berkembang biak. Sedangkan perkawinan manusia bertujuan untuk mencapai ridha Allah SWT disamping juga mencapai tujuan biologis. 3. Prinsip saling melengkapi dan melindungi Prinsip ini didasarkan pada Q. S. Al-Baqarah ayat 187 yang menjelaskan bahwa istri-istri adalah pakaian sebagaimana layaknya dengan laki-laki juga sebagai pakaian untuk wanita. Perkawinan laki-laki dan perempuan dimaksud untuk saling membantu dan melengkapi karena setiap oarang mempunyai kekurang dan kelebihan. 4. Prinsip mu’asaroh bi al-ma’ruf Dalam Q. S. an-Nisa ayat 19 dijelaskan bahwa setiap laki-laki diperintahkan untuk memperlakukan istrinya dengan cara yang ma’ruf begitu pula sebaliknya. e. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Ketika manusia sudah dilahirkan ke dunia, maka akan ada sesuatu yang menempel dalam dirinya yang harus dilakukan dan diterima yang dikenal dengan istilah hak dan kewajiban. Disebuatkan dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) bahwa hak memiliki arti sebagai milik dan kepunyaa. Sedangkan kewajiban memiliki arti sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan. Dari pengertian tersebut bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hak adalah segala sesuatu yang (telah) diterima dari orang lain. Adapun yang dimaksud dengan kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dilakukan seseorang terhadap yang lain. Jika seseorang ingin mendapatkan haknya, maka dia harus melaksanakan kewajiban dan sebaliknya. Jadi, jika kewajiban telah selesai dilakukan maka dia secara otomatis akan mendapatkan haknya. Begitupula dalam pernikahan, adanya suatu tali pernikahan mengakibatkan adanya hak dan kewajiban suami istri didalamnya. Menurut Undang-Undang Perkawinan hak dan kewajiban suami istri tercantum pada pasal 30-34. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa “Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”. Maka dengan adanya perkawinan suami istri itu diletakkan suatu kewajiban secara timbal balik, dimana laki-laki sebagai seorang suami memperoleh hak-hak tertentu beserta dengan kewajibannya, begitu sebaliknya perempuan sebagai istri memperoleh hak-hak tertentu beserta dengan kewajibannya. Suami dan istri mempunyai kewajiban untuk saling setia tolong menolong dan bantu membantu untuk kelancaran serta jalannya bahtera rumah tangga yang mereka bina. Dan untuk mewujudkan suasana yang demikian penting juga kiranya diketahui apa hak dan kewajiban suami dan apa hak dan kewajiban istri. Hak yang diperoleh suami seimbang dengan kewajiban yang dipikul dipundaknya, demikian juga hak yang diperoleh istri seimbang dengan kewajiban yang dipikul dipundaknya. Adanya hak suami dan istri untuk mempergunakan haknya adalah kewajibannya dan dilarang untuk menyalahgunakan haknya. Mengenai hak-hak suami istri, pasal 31 dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 mengatakan bahwa: 1). Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dan hak kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 2).Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 3).Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Ketentuan pasal 31 ayat 1 dan 2 dari Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 bahwa dalam pasal tersebut mensejahterakan antara hak dan kedudukan suami istri dalam kehidupan masyarakat sangat sesuai dengan tata hidup masyarakat sekarang. Begitu juga dalam mempergunakan hak kebendaan. Adanya hak suami dan istri untuk mempergunakan atau dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik adalah sewajarnya, menginginkan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan kedudukan suami dalam lingkungan kehidupan keluarga dan pergaulan hidup bersama dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dimana masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Pasal 31 ayat 3 menjelaskan bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. Suami mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam beberapa hal, hanya kelebihan suami atas istri adalah hak untuk memimpin dan mengatur keluarga. Karena suami adalah kepala rumah tangga, maka ia bertanggung jawab terhadap keselamatan keluarganya dan kesejahteraan dari pada rumah tangga. Oleh karena itu, istri harus patuh kepada suami, mencintai suami dengan sepenuh jiwa. Istri wajib mengakui bahwa suami adalah pemimpin dalam rumah tangganya. Oleh sebab itu istri harus menghormati dan mematuhi suami selagi dalam hal untuk kebaikan. Dan istri adalah sebagai ibu rumah tangga, maka tugas utama adalah melayani suami dan mengatur kebutuhan hidup ehari-hari, karena istri adalah pengemudi dan pengendali belanja sehari-hari. Pasal 32 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa: 1).Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. 2).Rumah tempat tinggal yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri secara bersama. Jadi suami harus mempunyai tempat tinggal tetap dan didalam menentukan tempat tinggal harus ditentukan oleh suami istri. Kemudian pada 33 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa: “Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi, bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa dalam suatu keluarga menjaga tali kasih sayang dan saling menghormati sangatlah penting guna membangun rumah tangga yang harmonis. Adapun kewajiban-kewajiban suami istri terdapat dalam 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan: 1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. 3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Adapun maksud dari pasal 34 ayat (1) suami diwajibkan melindungi istrinya artinya suami bertanggung jawab atas keselamatan jiwa raga istrinya secara baik, menjaga istrinya agar tidak menyeleweng dari tujuan perkawinan, dan
Item Type: | ["eprint_typename_skripsi" not defined] |
---|---|
Subjects: | Agama > Fiqih (Hukum Islam) |
Depositing User: | Unnamed user with email bimoharyosetyoko@iainsalatiga.ac.id |
Date Deposited: | 19 May 2023 16:11 |
Last Modified: | 19 May 2023 16:11 |
URI: | http://e-repository.perpus.uinsalatiga.ac.id/id/eprint/16943 |
Actions (login required)
View Item |