KONSEP ULIL AMRI DALAM AL-QUR’AN (Studi Tafsir Tematik Komparatif Pada Q.S An-Nisa Ayat 59 dan 83 Melalui Penafsiran Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Buya Hamka)

aziz, fikry (2025) KONSEP ULIL AMRI DALAM AL-QUR’AN (Studi Tafsir Tematik Komparatif Pada Q.S An-Nisa Ayat 59 dan 83 Melalui Penafsiran Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Buya Hamka). Other thesis, IAIN SALATIGA.

[img] Text
File Skripsi Fikry Aziz revisi sidang terbaru.pdf

Download (1MB)
[img] Text
File Skripsi Fikry Aziz revisi sidang terbaru.pdf

Download (1MB)

Abstract

Pada Skripsi ini, penulis mengidentifikasi masalah melalui penelitian yang bersifat kepustakaan (Library Research) guna mengambil segala literatur maupun hasil pembahasan yang sudah ada untuk dikaji lebih mendalam lagi. Adapun untuk menjawab segala rumusan masalah yang ada di penelitian ini, penulis memilih metode analisis yang dapat menjawab segala permasalahan yang ada, lalu dilanjutkan dengan membandingkan pemikiran kedua mufassir yang peneliti angkat dalam penelitian ini sehingga menghasilkan kesimpulan, bahwa penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman terkait konsep dan perbandingan tentang Ulil Amri dari kitab Tafsir Marah Labid dan Tafsir Al-Azhar. Pembahasan tentang Ulil Amri masih begitu menarik untuk dipahami melalui kajian tafsir, terutama mengenai tentang konteks Ulil Amri dan otoritas yang teradapat dalam umat Islam itu sendiri, apalagi jika ditarik kepada konteks kepemimpinan di Indonesia. Dari segi pandangan sebagian para mufassir, terdapat beberapa yang menyepakati bahwa Ulil Amri disandingkan dengan kepemimpinan atau penguasa. Terdapat di dalam Al-Qur’an istilah Ulil Amri yaitu dalam Q.S. An￾Nisa ayat 59 dan 83 yang berbicara mengenai konsep ketaatan terhadap pemimpin yang berlandaskan pada syariat Islam. Seperti halnya kitab Tafsir Marah Labid dan Tafsir Al-Azhar dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an tentang konsep Ulil Amri, keduanya mengambil dalil tentang Ulil Amri kepada surah An-Nisa ayat 59 dan 83. Kedua tafsir tersebut menyepakati bahwa konsep taat terhadap Ulil Amri bersifat kondisional, jika terdapat perintah kepada masyarakat untuk melakukan kebaikan maka pemimpin tersebut wajib untuk ditaati. Begitupun sebaliknya, jika terdapat vi pemimpin yang memerintahkan ke jalan keburukan maka haram hukumnya untuk ditaati. Akan tetapi, keduanya berbeda dalam memaknai Ulil Amri. Al-Bantani dalam penafsirannya memberikan tiga pendapat tentang pemimpin. Pertama, Pemimpin perang. Kedua, orang yang pintar atau bijaksana (Khulafaur Rasyidin). Ketiga, Ulama. Sedangkan menurut penafsiran Hamka, Ulil Amri merupakan pemerintah yang mengurusi tatanan Negara seperti presiden, ketua partai politik, dan lain sebagainya. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan konteks Ke-Indonesiaan, terdapat pembahasan yang sudah tidak relevan lagi jika dipakai pada zaman Sekarang. Dalam pendapatnya Al-Bantani pada kitab Tafsir Marah Labid yang menyatakan bahwa Ulil Amri merupakan pemimpin perang dan Khulafaur Rasyidin, maka pada saat ini sudah tidak ada Ulil Amri dan Khulafaur Rasyidin lagi. Akan tetapi pendapatnya yang terkahir yaitu Ijma’ Ulama, pemerintahan di Indonesia bisa dikatakan Ulil Amri karena pendapatnya wajib diikuti selagi masih sejalan dengan syariat hukum di Al-Qur’an maupun Hadits. Kemudian menilik dari penafsiran Hamka yang mengatakan bahwa Ulil Amri disandarkan kepada Presiden, para Menteri, dan partai politik perintahnya wajib diikuti karena mereka yang dimaksud Ulil Amri.

Item Type: Thesis (Other)
Subjects: Agama > Alqur'an
Divisions: Fakultas Ushuludin, Adab dan Humaniora > Ilmu Alqur'an dan Tafsir
Depositing User: Unnamed user with email bimoharyosetyoko@iainsalatiga.ac.id
Date Deposited: 27 Feb 2025 17:03
Last Modified: 27 Feb 2025 17:03
URI: http://e-repository.perpus.uinsalatiga.ac.id/id/eprint/23133

Actions (login required)

View Item View Item