khabibi, Rizal (2025) PENDAPAT TOKOH AGAMA DESA KEBONDALEM KECAMATAN JAMBU DALAM LARANGAN PERNIKAHAN KARENA MEMILIKI SUMBER MATA AIR YANG SAMA PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM. Other thesis, IAIN SALATIGA.
![]() |
Text
RIZAL KHABIBI-33010190040-PENDAPAT TOKOH AGAMA DESA KEBONDALEM KECAMATAN JAMBU DALAM LARANGAN PERNIKAHAN KARENA MEMILIKI SUMBER MATA AIR YANG SAMA PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM.pdf Download (3MB) |
![]() |
Text
RIZAL KHABIBI-33010190040-PENDAPAT TOKOH AGAMA DESA KEBONDALEM KECAMATAN JAMBU DALAM LARANGAN PERNIKAHAN KARENA MEMILIKI SUMBER MATA AIR YANG SAMA PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM.pdf Download (3MB) |
![]() |
Text
RIZAL KHABIBI-33010190040-PENDAPAT TOKOH AGAMA DESA KEBONDALEM KECAMATAN JAMBU DALAM LARANGAN PERNIKAHAN KARENA MEMILIKI SUMBER MATA AIR YANG SAMA PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM.pdf Download (3MB) |
Abstract
Pernikahan adalah hubungan sah antara laki-laki dan perempuan yang bertujuan membangun keluarga yang harmonis dan sejahtera. Di beberapa komunitas, praktik pernikahan tidak semata-mata diatur oleh ajaran agama dan peraturan perundang-undangan, tetapi juga oleh tradisi lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Penelitian ini mengangkat kasus larangan pernikahan antara warga Dusun Jengati dan Dusun Jandon di Desa Kebondalem, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, yang dilandasi oleh kepercayaan bahwa kedua dusun tersebut memiliki sumber mata air yang sama. Keyakinan tersebut dimaknai sebagai ikatan kekerabatan yang, bila dilanggar, diyakini akan membawa konsekuensi buruk seperti perceraian atau masalah ekonomi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap pandangan para tokoh agama Dusun Jandon dan Dusun Jengati terhadap larangan tersebut dalam perspektif filsafat hukum. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode yuridis-empiris dan dianalisis melalui tiga aspek utama filsafat hukum, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Hasil kajian menunjukkan bahwa larangan ini tidak memiliki landasan dalam hukum Islam maupun hukum negara (secara ontologis), berasal dari kepercayaan yang tidak bersumber pada dalil agama (secara epistemologis), dan berpotensi melanggar hak dasar individu untuk memilih pasangan hidup (secara aksiologis). Kesimpulannya, larangan ini lebih tepat dikategorikan sebagai norma sosial yang berkembang di lingkungan masyarakat, namun tidak memiliki kekuatan hukum formal. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan edukatif dan kultural agar masyarakat mampu memahami secara kritis perbedaan antara ajaran agama dan kepercayaan adat dalam konteks pernikahan.
Item Type: | Thesis (Other) |
---|---|
Subjects: | Filsafat dan Epistemologi |
Depositing User: | Unnamed user with email bimoharyosetyoko@iainsalatiga.ac.id |
Date Deposited: | 03 Oct 2025 17:26 |
Last Modified: | 03 Oct 2025 17:26 |
URI: | http://e-repository.perpus.uinsalatiga.ac.id/id/eprint/25000 |
Actions (login required)
![]() |
View Item |